Student Governance sudah berkembang sejak lama di beberapa universitas di Indonesia, termasuk Universitas Islam Indonesia (UII) di dalamnya. Esensi dari Student Governance adalah kesetaraan peran antara dekanat dan mahasiswa. Hubungan antara dekanat dan mahasiswa hanya berupa garis koordinasi dan tidak bisa saling mengintervensi satu sama lain, karena sudah memiliki kewenangan dan wilayah kerja sendiri-sendiri. Mahasiswa diberikan keleluasaan untuk mengurus semua kegiatan kemahasiswaan juga mengendalikan dana mahasiswa sendiri. Jadi, mahasiswa memiliki ruang gerak yang lebih untuk mengaktualisasikan diri dalam bentuk pengadaan kegiatan. Selain itu, mahasiswa benar-benar bebas dari bayang-bayang dekanat yang terkadang mematikan potensi mahasiswa sendiri dengan berbagai peraturan yang mengikat. Misalnya saja mengenai batasan kegiatan kemahasiswaan, tidak boleh melakukan lebih dari beberapa kali dan sebagainya. Selain itu, dengan adanya Student Governance mahasiswa dapat belajar lebih mengenai manajemen kemahasiswaan secara luas dan itu sangat bermanfaat bagi kehidupan mahasiswa mendatang. Karena pembelajaran sesungguhnya tidak didapat dari bangku kuliah tetaapi dari organisasi maupun kegiatan lain di luar ruang kelas.
Namun, kekurangan Student Governance adalah tidak adanya fungsi pengawasan dan badan yudikatif. DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) yang merupakan badan tertinggi memiliki fungsi ganda, selain sebagai badan legislatif juga menjadi badan pengawas dan badan yudikatif. Rawan memang, tetapi ruang lingkup mahasiswa memang tidak terlalu mementingkan adanya dua badan tadi, walaupun sebenarnya fungsinya cukup vital. Wacana pembentukan badan pengawas dan badan yudikatif sudah santer terdengar beberapa tahun belakngan tetapi derap realisasinya belum terlihat. Badan pengawas nantinya akan bertugas mengawasi fungi-fungsi kelembagaan khususnya bagian yang paling vital yaitu keuangan yang kesemuanya dipegang oleh Bidang III di DPM. Sedangkan Badan Yudikatif, nantinya yang berhak untuk menindaklanjuti apabila terjadi kekurangan dan kesalahan dalam menjalani fungsi kelembagaan tersebut.Namun, karena tidak menganut sistem partai pengadaan kedua badan ini memiliki dilema tersendiri, yaitu tidak adanya partai oposisi sebagai pengontrol dan pengawas umum. Karena berasal dari satu wadah pada akhirnya, kedua badan inipun tidak membawa perubahan apa-apa dan mungkin fungsi nya mati. Toh, orang-orang di eksekutif dan legislatif berasal dari satu wadah yang sama sehingga tidak mungkin saling mengadili dan fungsi pengawasannya menjadi nol.
Jalan keluar yang terbaik memang ada sejak awal penyaringan pencalonan calon-calon legislatif fan eksekutif. Ada forum bersama yang bernama Training Kelembagaan dan Sekolah Umum yang didalamnya merupakan pengkarderan bagi calon-calon pimpinan legislatif dan eksekutif. Forum yang biasanya hanya beberap hari tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mencetak pemimpin-pemimpin yang prima. Mungkin bukan mencetak kata-katanya, tetapi memberikan suplemen bagi kelahiran calon pemimpin yang memang bisa diandalkan kedepannya. Meskipun kebawahanya nanti saat open recruitment tetap besar kemungkinan terjadinya kejebolan, namun jika manajemen dan kepemimpinannya terpercaya, tidak akan menjadi masalah berarti. Pembentukan badan pengawas dan badan yudikatif akan menjadi mungkin bila sistem kelembagaan di kampus benar-benar mengadopsi sistem Pemerintahan Nasional yaitu sistem multi partai dengan partai pro pemerintah dan partai oposisi. Pembentukannya pun harus dengan indikasi yang jelas yaitu banyaknya mahasiswa berbanding dengan eksekutif dan legislatif jauh dari kisaran sehingga pengawasan khusus memang diperlukan. Student Government yang sekarang ada di UII, sudah seharusnya mengalami perbaikan dan hanya dengan pemimpin yang primalah semuanya bisa dicapai. Hidup Mahasiswa ! YAKUSA !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar