Oleh : Astri Sulastri Prasasti
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Kemajuan di bidang ekonomi, sosial dan teknologi memberikan dampak positif dan negatif terhadap gaya hidup dan pola konsumsi makanan pada masyarakat Indonesia. Pola konsumsi saat ini sering mengikuti pola konsumsi kebarat-baratan (western style diet). Pola konsumsi ini mulai mengeser pola konsumsi gizi seimbang yang selama ini telah diterapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam jangka panjang gaya hidup seperti ini berdampak buruk bagi kesehatan karena mengakibatkan ketidakseimbangan asupan gizi (Bradialaily, 2004). Kemajuan-kemajuan di berbagai bidang tadi mengakibatkan munculnya gaya hidup baru yang dikenal dengan sedentary life. Pola hidup sedentary life merupakan pola hidup yang ditandai dengan aktivitas yang rendah dan konsumsi makanan yang berlebihan. Kemajuan teknologi pengolahan pangan menyebabkan terjadinya peningkatan kebiasaan konsumsi snack, termasuk di dalamnya junk food dan fast food. Perubahan kebiasaan pola makan ini tidak hanya dialami oleh orang dewasa tetapi juga pada anak-anak. Snack atau makanan ringan adalah sejenis makanan yang biasanya di konsumsi di luar waktu makan. Snack yang beredar di pasaran biasanya merupakan produk ekstruksi yang rata-rata tinggi kalori dan rendah zat gizi (Deni, 2009). Junk food dikategorikan sebagai makanan dan minuman yang tinggi garam atau tinggi kalori dan rendah zat gizi. Kriteria junk food antara lain mengandung lebih dari 30% kalori yang berasal dari lemak, 10% kalori berasal dari lemak jenuh, beberapa lemak trans, lebih dari 35% kalori berasal dari gula, lebih dari 200 kalori per sajian untuk snack, dan lebih dari 200 mg garam per sajian untuk snack. Sedangkan fast food adalah makanan cepat saji yang biasanya dikonsumsi untuk menggantikan makanan pokok seperti nasi, roti, dan lain-lain. Perbedaan antara junk food dan fast food yaitu junk food biasanya dimakan hanya sebagai snack bukan untuk menggantikan makanan pokok (Guttierez, 2007).
Konsumsi snack yang berlebihan pada anak menyababkan terjadinya obesitas dini (Deni, 2009). Obesitas atau kegemukan mempunyai pengertian yang berbeda. Obesitas berarti kelebihan berat badan (BB) jauh melebihi berat yang ideal (>20%) karena terjadi penumpukan lemak tubuh yang berlebih, sehingga BB seseorang jauh di atas normal dan dapat membahayakan kesehatan. Sementara overweight (kelebihan berat badan) adalah keadaan dimana BB seseorang melebihi BB normal (Adityawarman, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Frank Ge dalam Virgianto (2006) mengatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan makan anak dengan ukuran tubuhnya. Makan siang dan makan malam remaja menyediakan 60% intake kalori, sementara makanan jajanan menyediakan 25%. Anak obesitas ternyata akan sedikit makan pada waktu pagi dan lebih banyak makan pada waktu siang dibandingkan dengan anak kurus pada umur yang sama.
Dari perkiraan 210 juta penduduk Indonesia tahun 2000, jumlah penduduk yang overweight diperkirakan mencapai 76.7 juta (17.5%) dan pasien obesitas berjumlah lebih dari 9.8 juta (4.7%). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa overweight dan obesitas di Indonesia telah menjadi masalah besar yang memerlukan penangan secara serius (Virgianto, 2006). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi obesitas di Indonesia pada penduduk usia > 15 tahun adalah 10,3% (laki-laki 13,9 % dan perempuan 23,8%), sedangkan pada anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5 % dan perempuan 6,4 % (Depkes, 2009).
Menurut Dietz dalam Virgianto (2006), ada 4 periode kritis terjadinya obesitas, yaitu masa prenatal, masa bayi, masa adiposity rebound, dan masa remaja. Obesitas yang terjadi pada masa remaja, 30% akan melanjut sampai dewasa menjadi obesitas yang persisten dan risiko terjadinya obesitas lebih banyak pada remaja putri daripada remaja pria. Obesitas yang terjadi pada masa remaja perlu mendapatkan perhatian, sebab obesitas yang timbul pada waktu anak dan remaja bila kemudian berlanjut hingga dewasa akan sulit diatasi secara konvensional (diet dan olahraga). Menurut definisi WHO remaja (adolescence) adalah mereka yang berusia 10-19 tahun. Sementara PBB menyebut anak muda (youth) untuk usia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam terminologi kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun.
1.2 Perumusan Masalah
Atas dasar perubahan pola diet diatas timbul pertanyaan yaitu :
a. Bagaimana karakteristik asupan dan pola makan pada remaja usia 10-19 tahun di Indonesia
b. Apakah karakteristik tersebut sudah sesuai pemenuhan standard gizi berdasarkan umur dan rata-rata berat badan
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui karakteristik asupan dan pola makan pada remaja usia 10-19 tahun di Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik asupan dan pola makan pada remaja usia 10-19 tahun di Indonesia. Informasi tersebut dapat digunakan untuk evaluasi dari penerapan asupan dan pola makan sehat ataupun sebagai penelitian awal untuk mendukung penelitian-penelitian selanjutnya mengenai pola makan.
1.5 Keaslian Penelitian
Sampai penelitian ini dilakukan, dari banyak penelitian terhadap pola makan belum ada yang meneliti tentang karakteristik asupan dan pola makan pada remaja usia 10-19 tahun di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asupan dan Pola Makan
a. Definisi
Ada beberapa definisi mengenai pola makan menurut beberapa pakar, yaitu Baliwati (2004) mengatakan pola makan atau pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Sedangkan Santosa dan Ranti (2004) mengungkapkan bahwa pola makan merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh suatu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pendapat dua pakar yang berbeda-beda dapat diartikan secara umum bahwa pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup.
b. Makanan dan Gizi Seimbang
Menurut Diehl (1991), makanan didefinisikan sebagai bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur-unsurl ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh yang berguna bila dimasukkan ke dalam tubuh. Tanpa makanan, seseorang tidak dapat menjalankan kehidupan dan aktivitasnya dengan baik. Agar tetap sehat, manusia memerlukan suatu susunan makanan yang mengandung zat gizi sesuai dengan kebutuhannya, yang populer dengan istilah gizi seimbang. Gizi seimbang meliputi zat tenaga (karbohidrat), zat pembangun (protein), zat pengatur (mineral dan vitamin) yang dikonsumsi setiap hari. Fungsi ketiga zat gizi tersebut dikenal dengan istilah Tri-Guna Makanan yang menjadi konsep dasar gizi seimbang (BBKP, 2004).
Untuk memelihara proses metabolisme tubuh dan aktivitasnya, perlu zat giziyang memadai dalam makanan. Karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air, baik dari bahan pangan nabati maupun hewani harus tercukupi. Komposisi dan nilainya harus cukup dan seimbang, sebab jika kurang maupun berlebih, dapat merugikan kesehatan. Energi diperlukan manusia untuk bergerak atau melakukan pekerjaan fisik dan juga menggerakkan proses-proses dalam tubuh seperti misalnya sirkulasi darah, denyut janturrg, pernafasan, pencernaan dan proses-proses fisiologis (Suhardjo & Kusharto, 1992). Selain itu energi juga diperlukan untuk melangsungkan aktivitas kehidupan. Kebutuhan energi sebagian besar tergantung dari aktivitas fisik, namun dalam keadaan diam pun energi tetap diperlukan untuk kerja internal; ini yang disebut sebagai Energi Metabolisme Basal (EMB). Karbohidrat dan lemak merupakan sumber utama energi dalam makanan. Karbohidrat paling banyak dibutuhkan oleh tubuh, yaitu sebesar 55-65% dari total asupan energi. Dua jenis utama karbohidrat yaitu gula (karbohidrat sederhana) dan pati (karbohidrat kompleks).
Protein merupakan bahan dasar pembentuk sel dan jaringan baru dalam tubuh, juga berfungsi untuk pertumbuhan, pemeliharaan, dan perbaikan jaringan tubuh yang rusak. Beberapa protein juga merupakan enzim dan hormon. Makanan sumber protein dibedakan menjadi dua, yaitu (1) protein hewani (berasal dari hewan, merupakan protein lengkap) dan (2) protein nabati (berasal dari tumbuhan, disebut protein setengah lengkap).
1. Protein lengkap
Protein lengkap mengandung semua asam amino essensial dalam jumlah cukup dan rasio yang tepat untuk mempertahankan keseimbangan N dan untuk pertumbuhan normal. Contohnya adalah albumin pada telur, casein pada susu, daging, ikan dan unggas.
2. Protein setengah lengkap
Protein setengah lengkap dapat berfungsi mempertahankan hidup, tetapi terdapat kekurangan asam amino essensial, sehingga tidak dapat membantu pertumbuhan normal. Contohnya adalah protein pada kacang-kacangan, polong dan biji-bijian.
3. Protein tidak lengkap
Protein tidak lengkap adalah protein yang tidak mengandung asam amino essensial dalam jenis dan jumlah yang cukup, sehingga tidak dapat berfungsi normal baik untuk mempertahankan hidup maupun pertumbuhan. Contohnya adalah Zein pada jagung, gelatin pada hewan. Pangan nabati umumnya kekurangan lysine, methionin, threonin, tryptophan. Protein mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai berikut (Suhardjo & Kusharto, 1992) :
a. Memperbaiki protein jaringan tubuh yang aus terpakai (Katabolisme)
b. Membangun jaringan baru (anabolisme) terutama pada periode pertumbuhan (bayi, anak-anak, remaja dan kehamilan).
c. Untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh
d. Untuk pembentukan ikatan-ikatan essensial tubuh
e. Untuk mengatur keseimbangan air
f. Untuk memelihara netralisis tubuh
g. Untuk pembentukan antibodi
h. Untuk mengangut zat-zat gizi dari saluran cerna ke berbagai jaringan.
i. Sebagai sumber energi
Kebutuhan protein dari makanan ditentukan oleh umur dan berat badan. Kelebihan konsumsi protein dapat mengkibatkan kerja ginjal yang semakin berat dan penyakit hati. Lemak adalah bahan-bahan yang mengandung asam lemak, baik dalam bentuk cair yaitu minyak maupun dalam bentuk padat yaitu, fat. Ada dua jenis lemak, yaitu (1) lemak jenuh dan (2) lemak tidak jenuh. Lemak jenuh banyak terdapat pada hewan dan produk hewan, juga pada minyak kelapa. Lemak ini berbentuk padat pada suhu ruang. Konsumsi yang tinggi dari . lemak jenuh cenderung meningkatkan kolesterol darah. Lemak tidak jenuh banyak terdapat pada sayuran dan minyak sayur, berbentuk cairan pada suhu ruang. Lemak pada minyak sayur ada dua jenis yaitu lemak tidak jenuh tunggal (terdapat pada minyak zaitun) dan lemak tidak jenuh ganda (pada minyak jagung, minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai). Kedua jenis minyak sehat bagi jantung. Pada buah-buahan lemak ini terdapat pada alpukat dan pisang. Sumber lemak tidak jenuh lain adalah ikan, ayam, itik, dan margarin. Lemak berfungsi sebagai sumber energi, sumber asam lemak essensial, alat angkut vitamin larut lemak, menghemat protein, memberi rasa kenyang dan kelezatan, sebagai pelumas dan membantu pengeluaran sisa pencernaan, memelihara suhu tubuh dan pelindung organ tubuh.
Vitamin, secara umum dikelompokkan menjadi vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, Dl E dan K) dan vitamin larut dalam air (vitamin B dan C). Mineral, sama halnya dengan vitamin, merupakan zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan tubuh terutama untuk proses metabolisme. Beberapa contoh mineral penting adalah kalsium, fosfor, magnesium, natrium, kalium, besi, iodium, seng dan selenium. Serat merupakan bagian pangan nabati yang tidak dapat dicerna olehtubuh walaupun tidak mengandung zat gizi namun berperan dalam pemeliharaan kesehatan tubuh. Serat berfungsi dapat menarik air dari sekitar pembuluh darah sehingga melunakkan feses dan mendorong pengeluaran yang efisien. Selain itu serat dapat mengurangi penyerapan lemak, berarti menurunkan tingkat kolesterol darah. Sumber makanan mengandung serat adalah biji-bijian, kulit dan daging buah-buahan, serta bahan-bahan berserat pada sayuran. Setiap orang dewasa sebaiknya mengkonsumsi sekitar 25 g serat per hari.
Konsumsi zat-zat gizi, baik yang kurang atau melebihi kecukupan dan bila berlangsung dalam waktu yang lama, akan memberi dampak pada kesehatan. Misalnya kurang energi protein (KEP), anemi gizi, gangguan penglihatan akibat kekurangan vitamin A (KVA) atau gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Sedangkan gizi lebih dapat meningkatkan prevalensi penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus dan obesitas.
c. Obesitas
Beberapa pola makan sehat yang sederhana ditawarkan oleh Tsigos (2008) adalah mengurangi intake kalori makanan dan minuman, mengurangi porsi makan, menghindari snack diantara makan, jangan menunda makan pagi, dan menghindari makan pada malam hari. Makanan sangat berperan penting dalam patogenesis obesitas. Perubahan pola makan yang seringkali terjadi pada era platinum adalah kebiasaan makan fast food. Ismoko (2007) dalam Hastuti (2008) menyatakan bahwa banyak fast food yang mengandung kalori tinggi, kadar lemak, gula, dan sodium (Na) juga tinggi, tetapi rendah akan kandungan vitamin A, asam askorbat, kalsium, dan serat. Intake kalori berlebihan ini akan berakibat pada adanya obesitas. Semakin beranekaragaman jenis fast food yang dikonsumsi, semakin tinggi pula resiko seseorang menderita obesitas. Anak yang memperoleh intake energi dari fast food sebanyak 75% lebih berpeluang untuk menjadi obesitas daripada anak yang memperoleh intake energi yang dikonsumsi dari fast food, semakin tinggi resiko obesitas seseorang.
Obesitas atau kegemukan adalah suatu kelainan atau penyakit yang ditandai oleh penimbunan jaringan lemak dalam tubuh secara berlebihan. Obesitas pada anak merupakan masalah yang sangat kompleks, yang antara lain berkaitan dengan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, perubahan pola makan menjadi makanan cepat saji yang memiliki kandungan kalori dan lemak yang tinggi, waktu yang dihabiskan untuk makan, waktu pertama kali anak mendapat asupan berupa makanan padat, kurangnya aktivitas fisik, faktor genetik, hormonal dan lingkungan (Yussac, dkk., 2007).
Pengertian kegemukan sering kali disamakan dengan obesitas, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Kegemukan adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat pertumbuhan lemak, untuk pria dan wanita masing-masing melebihi 20% dan 25% dari berat tubuh (Rimbawan & Siagian 2004). Seseorang disebut mengalami obesitas apabila besar lemak tubuhnya melebihi batas normal. Jumlah lemak yang normal pada wanita adalah sekitar 15 - 28% dari berat badanya dan untuk pria jumlah lemak yang normal adalah 10 - 18% dari berat badannya. Persentase lemak simpanan dibawah kulit pada wanita adalah 9% dan pada pria adalah 4,4%, persentase lemak simpanan dirongga perut dan dada pada wanita adalah 2,3% dan 1,55 pada wanita (Effendy 1995). Faktor risiko utama penyebab obesitas berdasarkan hasil penelitian Gu et al. (1995) diantaranya adalah frekuensi konsumsi snack (OR=2,65), kebiasaan makan yang terlalu cepat (OR=2,51), kebiasaan makan yang tidak seimbang (OR=1,84), memiliki ibu atau ayah yang obes (OR= 1,73), serta berat lahir >3,5 kg (OR=1,52). Faktor risiko lainnya adalah kesukaan terhadap daging atau telur, ketidaksukaan terhadap sayuran dan buah, serta kurang aktif dalam melakukan aktivitas fisik. Lingkungan yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan diantaranya termasuk perubahan alami suplai makanan, peningkatan konsumsi di luar rumah, pemasaran, promosi dan juga harga makanan tersebut. Kondisi orangtua yang sama-sama bekerja, serta keterbatasan waktu di rumah juga menjadi faktor penting dalam menentukan tipe makanan yang dikonsumsi.
Menurut Dietz dalam Virgianto (2006), ada 4 periode kritis terjadinya obesitas, yaitu masa prenatal, masa bayi, masa adiposity rebound, dan masa remaja. Obesitas yang terjadi pada masa remaja, 30% akan melanjut sampai dewasa menjadi obesitas yang persisten dan risiko terjadinya obesitas lebih banyak pada remaja putri daripada remaja pria. Obesitas yang terjadi pada masa remaja perlu mendapatkan perhatian, sebab obesitas yang timbul pada waktu anak dan remaja bila kemudian berlanjut hingga dewasa akan sulit diatasi secara konvensional (diet dan olahraga). Menurut definisi WHO remaja (adolescence) adalah mereka yang berusia 10-19 tahun. Sementara PBB menyebut anak muda (youth) untuk usia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam terminologi kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun.
c. Penghitungan IMT (Indeks Mass Tubuh)
Pengukuran IMT didapatkan dari berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan kuadrat dalam meter persegi (kg/m2). Interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin anak, karena anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai komposisi tubuh yang berbeda. Dengan mengukur IMT akan diketahui apakah berat seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk.Nilai batas IMT untuk obesitas pada remaja mengikuti kriteria NHANES (National Health Assesment and Nutritional Examination Survey) yaitu persentil ke-95. Remaja yang memiliki IMT lebih atau sama dengan persentil ke-95 dikategorikan obes sedangkan yang kurang dari persentil ke-95 diketegorikan non obes (Adityawarman, 2007).
Batasan ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan, dan penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berusia diatas 18 tahun. Tetapi timbullah masalah yang diterapkan oleh WHO NCHS dengan keterbatasan tinggi badan yakni, laki-laki maksimal 145 cm dan perempuan maksimal137 cm. Dengan keterbatasan satu hal di atas, maka dibutuhkan batas ambang IMT yang dapat ditentukan berdasarkan baku IMT meurut umur (CDC 2000) yang membedakan batas ambang untuk remaja laki-laki dan perempuan (Anonim, 2000).
Sedangkan untuk menghitung konsumsi zat-zat gizi, seperti energi digunakan suatu metode. Metode yang sering dipakai adalah metode recall, yang dilakukan dalam waktu 24 jam dan sebaiknya dilakukan 2 (dua) hari berturut-turut. Metode food recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jmlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Selain mudah dilakukan, murah dan cepat. Metode ini juga memberi gambaran yang nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari (Virgianto, 2006).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada rumah penduduk yang terdapat di lingkungan setiap center. Di Yogyakarta sendiri, penelitian bertempat di 5 rumah pada setiap kabupaten yang dipilih berdasarkan kesesuaian populasi dan sampel sumber data. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 20 September 2011 dilakukan serempak pada setiap tempat disetiap kabupatennya. Untuk center lain tempat, jumlah dan waktu penelitian disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada masing-masing center.
3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Desain penelitian ini dipilih karena permasalahan yang akan diteliti bersifat dinamis dan kompleks. Penelitian kualitatif sendiri dapat diartikan metode penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran), dimana peneliti adalah instrumen kunci, analisis data bersifat deskriptif.
3.3 Definisi Operasional
Remaja : adalah mereka yang berusia 10-19 tahun
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah:
1. Remaja yang masih menjadi penduduk Indonesia
Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data yang sudah terancang tujuannya dan rencananya dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan untuk sampel dari remajaadalah:
1. Remaja yang terlahir dari orang tua bukan obes
2. Remaja dengan berat lahir < 3,5 kg
3. Suka terhadap semua jenis makanan
4. Remaja yang tidak memiliki gangguan psikososial
Di Propinsi D.I. Yogyakarta peneliti merencanakan sampel yang diambil sebanyak 25 orang. Perinciannya adalah 5 orang untuk setiap Kabupaten (Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kotamadya DIY). Terhadap daerah lain, jumlah sampel disesuaikan sejumlah 5 sampel disetiap Kabupaten.
3.5 Instrumen Penelitian
Peneliti sendiri (human instrument) yang berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Dan data wawancara berupa pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada informan yang sudah ditetapkan. Selain data wawancara ada beberapa alat pendukung dalam penelitian kualitatif untuk mengumpulkan data diantaranya adalah alat tulis dan alat perekan suara (tape recorder) sehingga percakapan yang dilakukan dapat direkam sebagai dokumentasi.
3.6 Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap setiap informan dengan bentuk wawancara semiterstruktur (semistructure interview). Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seseorang sasaran penelitian (responden) dan atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut (Notoatmodjo, 2005).
Sedangkan wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan wawancara semiterstruktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan diajukan. Pertanyaan disusun dengan rapi dan ketat. Format wawancara dapat bermacam-macam, pertanyaan disusun sebelumnya dan didasarkan atas masalah dalam rancangan penelitian. Namun pada prakteknya, tanya jawab mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari. Hal ini disebabkan tujuan wawancara ini mengungkap maksud dan penjelasan dari responden atau mencoba mengungkapkan pengertian suatu peristiwa, situasi atau keadaan tertentu (Moleong, 2006).
Adapun tahapan atau alur penelitian yang dilakukan antara lain :
3.6.1. Persiapan
Peneliti melakukan penyusunan proposal penelitian, melakukan revisi, dan mengurus surat izin penelitian di Fakultas atau center masing-masing dan di tempat penelitian.
3.6.2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan di tempat pelayanan kesehatan primer untuk center Yogyakarta akan dilakukan pada tanggal 20 September 2010 pada pukul 13.00-15.00 WIB, untuk setiap center waktu dan tempat disesuaikan sesuai dengan kondisi dan situasi masing-masing.
3.7 Rencana Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah metode untuk data kualitatif. Menurut Bodgan dan Biklen, analisis untuk data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari serta memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2006)