Minggu, 19 Agustus 2018

Untukmu, yang Selalu Ada (#NHW3)

Saat menulis ini,  potongan cerita demi cerita sejak pertama kali bertemu,  10 tahun yang lalu di bulan Juli terputar begitu saja satu per satu. Kita kenal tepat di hari pertama masuk orientasi sebagai mahasiswa baru di kota pelajar. Kamu si orang asing datang ke kost ku untuk meminjam parkiran disaat masih banyak kost lain yang bisa dijadikan penitipan kendaraan karena mahasiswa lainpun begitu, letaknya bahkan bersebelahan dengan kampus. Sejak detik itu kamu resmi menjadi teman pertamaku dan tidak pernah terbayang akan menjadi teman hidupku hingga kini. Aku mahasiswi baru yang seorang diri,  bahagia saja tanpa diundang tanpa diduga ada teman baru 'menawarkan diri'.
Kehidupan kampus yang up and down menarik kita pada satu lingkaran yang sama,  bidang kemahasiswaan dan organisasi. Praktis kita bahkan menjadi teman satu obrolan hampir setiap hari. Sampai pada suatu hari entah bagaimana,  kamu meminta bantuan untuk meminjam akun Facebook ku untuk membuat seolah-olah kita berpacaran karena banyak yang mengganggu dan kamu sulit untuk menolak,  katamu. Aku menurut saja,  karena media sosial bukan suatu hal penting bagiku waktu itu. Sekedar membantu membuat status palsu boleh saja lah, pikirku. Tanpa ku sadari,  hal itulah yang membuat kita semakin intens dari hari ke hari. Sampai pada suatu saat,  aku bahkan merasa sulit untuk kehilangan kedekatan itu

Karena kepentingan pendidikan kita pun terpisah satu provinsi jauhnya selama beberapa tahun. Meski long distance,  tetapi sepertinya magnet antara kita belum juga hilang karena terbukti setelah terpisah lama itu akhirnya justru kamu malah semakin yakin lalu menghadap kepada orang tuaku secara langsung. Aku si perempuan setengah matang yang sedang getol mengikuti twit hits ust @felixsiaw dg tagar #udahhalalinaja pun iya-iya saja lalu ku bilang,  hapalkan surat Ar-Rahman setelah hapal baru kita menikah. Bukannya mundur,  kamu malah bilang iya. Saat itu bukan cuma kamu yang menerima syarat,  ada orang lain yang ku harap hapalannya bisa selesai lebih dulu. Kamu tahu itu.

Alasanku mengajukan syarat hapalan bukan karena aku tinggi hati atau sok-sokan merasa baik. Bukan. Aku bahkan malu. Aku hanya sekedar punya mimpi akan dipinang dengan surat Ar rahman saat pertama kali ku dengar surat ini dibacakan. 

Diluar dugaan,  kamu lah yang keluar sebagai pemenangnya. Kamu bahkan berhasil memenangkan hati orang tuaku. Inilah alasan terkuatku,  sebenarnya. Butuh hampir dua bulan berjalan,  aku harus komitmen dengan syarat yang aku ajukan meski dalam hati penuh ragu dan banyak bertanya-tanya,  oke kita menikah, ku sampaikan itu padamu setelah kita berdua mengucap janji profesi.

Dihadapkan pada kemungkinan terpisah lagi karena keharusan profesi dan kali ini mungkin terpisah lebih jauh yaitu berbeda pulau,  maka proses pernikahan kita pun berlangsung sangat cepat,  meski juga tidak cukup untuk dibilang instan. Aku bahkan yang saat itu masih sangat on fire bekerja sebagai seorang dokter baru tidak banyak terlibat dengan urusan pernikahan,  terima sajalah karena itu adalah ranah orang tua pikirku. Raga yang sibuk berkutat dengan pekerjaan tidak menghilangkan sindrom pasangan pra pernikahan. Galau,  ragu,  sempat berkali-kali ingin mundur,  berkali-kali shalat istikharah tetap tidak tenang. Tapi ku tanya pada pasangan lain yang sudah lebih  dulu,  begitu memang katanya.  Jangan hiraukan jalani saja.

Sampai H-1 keraguan itu semakin besar,  namun sudah sulit untuk berkilah,  kemarin kemana saja begitu orang tua ku berusaha meyakinkan. Bismillah dengan tidak sepenuh hati akupun berani melangkah pagi itu untuk menuju ruang akad dimana kamu untuk pertama kali nya akan membuktikan hapalan yang ku minta sebagai syarat didepan semua orang. Air mata menetes, semakin deras seiring lantunan Ar Rahman yang kamu senandungkan,  surat yang begitu ku suka entah kenapa. Detik itu menjadi kali kedua aku menangis karena surat ini.  Pertama kali saat shalat Ramadhan tahun pertama  di masjid kampus Ulil Albab,  kali kedua karena hapalan mu. Dalam hati,  masih berusaha meyakinkan diri 'Ya Allah teguhkan aku pada pernikahan ini,  ridhai jalan yang ku pilih, dan jaga selalu hatiku'  itu yang terus kuucap. Hari itu resmilah hubungan kita sebagai pasangan hidup,  mau tidak mau,  bisa tidak bisa semua kegalauan ku harus ku sudahi. Aku paham.

Jauh dari orang tua dan jauh pula dari keramaian,  tahun pertama pernikahan kita lewati di sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan. Akhirnya kita bisa satu lokasi penugasan karena memang sudah menikah Jatuh bangun tahun pertama sebagai suami istri sangat ku rasakan. Aku seorang perfeksionis sedangkan kamu seorang Yes Man sangat jauh dari yang ku bayangkan, setidaknya saat itu aku bahkan sempat ingin berpisah saja. Sifat ke-aku-an masih sangat kental.  Rupanya tahun-tahun lalu sebagai teman diskusi belum cukup untuk aku bisa mendalami kamu. Saking sedih dan campur aduk menghadapi kenyataan dalam pernikahan aku memberanikan diri menelepon orang tua,  sekedar curhat meski ku tahu itu dilarang. Tidak pernah ku ceritakan masalah rumah tangga ini kepada siapapun kecuali sang Khalik, namun hatiku terus memberontak. Orang tua ku bilang di ujung telepon sana,  sabar jalani dulu kewajiban hingga selesai. Banyak petuah kudapat,  lima tahun pertama pada pernikahan memang tidak mudah bahkan ada yang menjalani itu hingga 10 tahun lebih,  katanya. Aku pun berusaha menahan diri,  bersabar,  ku cari apa yang Allah maksudkan dengan menghadirkan kamu dalam hidupku.
Sebegitunya? Iya,  entah kenapa.
Hingga di bulan-bulan terakhir masa tugas kita,  Allah menitipkan janin pada rahimku. Tahun pertama terlewati. Setelah kembali kota lalu menjadi orang tua kehidupan pernikahan kita semakin membaik. Batu kerikil kiri kanan,  angin kencang sesekali mendera,  alhamdulilah bisa terlewati. Semoga anak kita kelak yang akan selalu menjadi pengingat betapa kita memperjuangkan pernikahan ini. Meski memang tahun-tahun berat yang telah dan masih lewat masih jauh dari kesempurnaan tapi semua orang punya proses masing-masing kan? Ah sekarang si perfeksionis sudah mulai melunak.

Sampai hari ini, tidak terasa sudah 4 tahun kita bersama dan sudah ada malaikat kecil,  baby El diantara kita. Meski banyak berubah tentu saja, tapi ada satu yang tetap ada dari dirimu yaitu kamu yang selalu ada untukku dalam semua hal dan kerumitan yang aku buat.
Terima kasih  telah selalu ada berpuluh-puluh kali bahkan mungkin sudah ratusan kali disaat banyak hal membuatku begitu tidak stabil. Terima kasih telah selalu bertahan denganku,  disaat banyak kesempatan untuk meng-iya kan keinginanku berpisah namun karenamu juga hingga hari ini kita masih terus bersama. Terima kasih telah selalu bersedia mengalah meski sebelumnya kita berdebat panas dan alot. Berkali-kali bahkan ratusan kali karena aku si perfeksionis dan kamu si Yes Man. Terima kasih telah selalu bersedia selalu mendukung semua keinginan dan keputusanku. Terima kasih telah selalu bersedia memback up atas banyak kebodohan dan kekeliruanku. Terima kasih telah selalu percaya pada kemampuanku atas banyak kegagalan yang aku lakukan. Terima kasih telah selalu yakin pada diriku atas banyak keraguan yang aku punya.

Sekarang aku mulai paham kenapa Allah dengan segala keajaibannya terus mendekatkan kita. Segala proses dalam hubungan ini yang penuh keajaiban tetapi kita tidak juga bisa kabur satu sama lain.  Padahal kesempatan itu ada dan bisa saja diambil. Sebegitu besar kasih sayang Allah aku rasa lewat kehadiranmu dan keluarga mu yang 180 derajat berbeda dengan yang ku pikirkan.  Aku merasa banyak hikmah pada diriku sehingga bisa berubah sedikit demi sedikit menjadi makhluk yang lebih baik lagi walau masih jauh dari definisi baik itu sendiri. Ditambah dengan kehadiran anak kita,  makhluk yang berhasil mengambil porsi besar dalam hatiku. Aku bisa melihat dunia yang jauh berbeda. Seperti mendapat insight baru. Terima kasih,  atas segala yang kamu buat.Terima kasih.

Aku harap teruslah bersabar terhadap istrimu yang bengal ini.
Teruslah ada disamping ku.  Juga teruslah bisa ada didepan dan dibelakangku untuk membimbing maupun mendorong ku maju. Aku harap kita bisa terus bersama melihat anak-anak kita kelak berbahagia dengan kehidupannya masing-masing. Aku harap kita bisa terus bersama agar kita punya lebih banyak waktu mengenang dan melakukan banyak hal bersama.

Maafkan aku atas segala yang pernah ku lakukan. Maaf atas segala kekurangan dan kebodohanku. Maaf kan aku yang masih butuh waktu banyak dan akan terus belajar menjadi istri dan ibu yang baik. Maaf aku si perfeksionis yang jauh dari kesempurnaan. Akhirnya, akan kuucap kalimat yang tidak pernah kuucap secara langsung padamu,

I Love You,  Bi ❤️


Tertanda,
Astri Sulastri Prasasti
#NHW3 IIP Batch 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar