Rabu, 11 Mei 2011

Kejang Demam Pada Anak

Oleh : Astri Sulastri Prasasti
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia
Tahun 2011





BAB I. PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang dan Epidemiologi

1.1.1. Latar Belakang
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai penyakit meningitis, meliputi definisi, epidemiologi dan persebaran penyakit, patofisiologi, tanda dan gejala penyakit, serta penatalaksanaan yang tepat terhadap kejang demam.
Pada beberapa anak, demam dapat menimbulkan kejang. Kejang merupakan hal yang menakutkan tetapi biasanya tidak membahayakan. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38,4°C) yang disebabkan tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut. Kejang demam biasanya dapat terjadi pada usia antara 3 bulan dan 5 tahun dan tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu (Pusponegoro et all., 2004). Menurut Tikoalu J.R (2009) kejang demam adalah kejang yang timbul pada saat bayi atau anak mengalami demam akibat proses di luar intrakranial tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang perlu diwaspadai karena dapat terjadi berulang dan dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak.
Pendapat lain mengatakan bahwa kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam (Pudjiaji et all., 2010). Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam (Pusponegoro et all., 2004).
Kejang demam sering berhubungan dengan infeksi virus penyebab demam pada anak, seperti herpes simpleks-6 (HHSV-6), Shigella, dan influenza A (Tejani et all., 2010). Penyakit yang mendasari demam berupa infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Risiko berulangnya kejang demam akan meningkat pada anak dengan riwayat orangtua dan saudara kandungnya juga pernah menderita kejang demam. Kejang demam diturunkan secara autosomal dominan sederhana (Soetomenggolo et all., 2000).
1.1.2. Epidemiologi
Menurut IDAI, kejadian kejang demam pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun hampir 2 - 5%. Diperkirakan 3% anak-anak dibawah usia 6 tahun pernah menderita kejang demam. Anak laki-laki lebih sering pada anak perempuan dengan perbandingan 1,4 : 1,0. Menurut ras maka kulit putih lebih banyak daripada kulit berwarna. Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga memegang peranan . Lennox Buchthal (1971) dalam Nelson (2007) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang sempurna. Dan 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.
Terdapat pengaruh faktor genetik yang kuat dalam kejang demam, karena frekuensinya meningkat diantara anggota keluarga. Insidensi pada orang tua berkisar 8 % dan 22 % dan pada saudara kandung antara 9 % dan 17 %. Pada orang tua dari anak dengan kejang demam ditemukan peningkatan insidensi epilepsi. Frekuensi epilepsi berbagai anggota keluarga adalah 4 – 10 % (Rudolph et all., 2007). Risiko terjadinya kejang pada episode demam yang lain tergantung dari usia anak anda. Anak yang berumur kurang dari 1 tahun pada saat kejang pertama memiliki risiko 50% untuk mengalami kejang demam lagi. Anak yang berusia lebih dari 1 tahun pada saat kejang pertama hanya memiliki risiko 30% untuk mengalami kejang demam lagi.

BAB II. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI KEJANG DEMAM

2. 1 Etiologi Kejang Demam
Hingga kini belum diketahui dengan pasti penyebab kejang demam. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, radang telinga tengah, infeksi saluran cerna dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang. Konvulsi jauh lebih sering terjadi dalam 2 tahun pertama dibanding masa kehidupan lainnya. Cedera intrakranial saat lahir termasuk pengaruh anoksia dan perdarahan serta cacat kongenital pada otak, merupakan penyebab tersering pada bayi kecil. Pada masa bayi lanjut dan awal masa kanak-kanak, penyebab tersering adalah infeksi akut (ekstra dan intrakranial). Penyebab yang lebih jarang pada bayi adalah tetani, epilepsi idiopatik, hipoglikemia, tumor otak, insufisiensi ginjal, keracunan, asfiksia, perdarahan intrakranial spontan dan trombosis, trauma postnatal,dan lain-lain. Mendekati pertengahan masa kanak-kanak, infeksi ekstrakranial akut semakin jarang menyebabkan konvulsi, tapi epilepsi idiopatik yang pertama kali tampil sebagai penyebab penting pada tahun ketiga kehidupan, menjadi faktor paling umum. Penyebab lain setelah masa bayi adalah kelainan kongenital otak, sisa kerusakan otak akibat trauma, infeksi, keracunan timbal, tumor otak, glomerulonefritis akut dan kronik, penyakit degeneratif otak tertentu dan menelan obat.
2.2 Patofisiologi Kejang Demam
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak dperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-).Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
1.    Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler
2.    Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya
3.    Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXvO3FsxOlfUrnTHJ9DU3mvBjjlAM5OB9Nbx76NoFRxSIkJFistOrTBGd4oEHjoo5ghSCN5t-BudffWZVzLm2oGjn0Oj9n1xYvoNIvFYcoLaXleLe-QyeNkovAAOQbMblE7MHvt-vv6ebG/s400/sf42x3a.jpg
 








Gambar 1.  Potensial Membran Sel Neuron

Sebuah potensial aksi akan terjadi sebagai akibat adanya perubahan potensial membran sel yang didahului dengan stimulus membran sel neuron. Pada saat fase depolarisasi, kanal ion Na+ terbuka dan kanal ion K+ tertutup. Hal ini menyebabkan adanya masukan dari ion Na+, sehingga menyebabkan potensial membran menjadi sel lebih positif, dan akhirnya terbentuklah suatu potensial aksi. Sebaliknya, untuk membuat keadaan sel neuron menjadi repolarisasi, kanal ion K+ harus terbuka dan kanal ion Na+ menjadi tertutup, agar terjadi pengeluaran ion K+ sehingga mengembalikan potensial membran menjadi lebih negatif atau ke potensial membran istirahat.
http://www.cidpusa.org/nervous_repolarization.gifhttp://www.cidpusa.org/nervous_depolarization.gif                                  
Gambar 2. Proses terjadinya depolarisasi dan repolarisasi

Menurut Price & Wilson (2006), kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung kepada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebri kemungkinan bersifat epileptogenik sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu terjadinya kejang. Didalam tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi sebagai berikut :
·         Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel menajdi lebih mudah mengalami pengaktifan.
·         Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
·         Kelainan polarisasi (polarisasi berlebih, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi GABA.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10% – 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas mutan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut dengan neurotransmiter dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejng yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Sehingga beberapa hipotesa dikemukakan mengenai patofisiologi sebenarnya dari kejang demam, yaitu:
Ø Menurunnya nilai ambang kejang pada suhu tertentu.
Ø Cepatnya kenaikan suhu.
Ø Gangguan keseimbangan cairan dan terjadi retensi cairan.
Ø Metabolisme meninggi, kebutuhan otak akan O2 meningkat sehingga sirkulasi darah bertambah dan terjadi ketidakseimbangan.
Dasar patofisiologi terjadinya kejang demam adalah belum berfungsinya dengan baik susunan saraf pusat (korteks serebri).




 







 









Kejang
 
 

  Gambar  3. Patofisiologi kejang demam


BAB III. TANDA DAN GEJALA KEJANG DEMAM

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunklosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.
Bila menghadapi penderita dengan kejang demam, pertanyaan yang sering timbul ialah dapatkah diramalkan dari sifat kejang atau gejala yang mana kemungkinan lebih besar untuk menderita epilepsi. Untuk itu Livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
  1. Kejang demam sederhana (Simple febril convulsion)
  2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (Epilepsi triggered off by fever)
Kriteria kejang demam menurut livingtone adalah:
  1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
  2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
  3. Kejang bersifat umum
  4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
  5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
  6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
  7. Frekuensi bangkitan kejang didalam 1 tahun tidak melebihi 4x.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi Livingston diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok kedua ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.
Kriteria kejang demam menurut tesis Lumbang Tobing, adalah:
  1. Adanya kejang dan demam.
  2. Tak ada defisi neurologik lain sebelum dan sesudah serangan kejang.
  3. Likuor normal.
Tanda dan gejala pada penyakit kejang demam biasanya didasarkan pada klasifikasi kejang itu sendiri. Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI membuat klasifikasi kejang demam pada anak menjadi :
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure)
o  Berlangsung singkat
o  Durasi kurang dari 15 menit.
o  Kejang dapat umum, tonik, dan atau klonik.
o  Umumnya akan berhenti sendiri.
o  Tanpa gerakan fokal.
o  Tidak berulang dalam 24 jam.
o  Pemeriksaan EEG yang dibuat 10-14 hari setelah bebas panas tidak menunjukkan kelainan. 5% dari anak normal mempunyai gambaran EEG yang abnormal.
Febrile Seizure : Tonic Phase and Clonic Phase
                                          Gambar 4. Kejang Tonik Klonik.

2. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)
o  Demam tinggi.
o  Kejang yang lama.
o  Durasi lebih dari 15 menit.
o  Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
o  Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam.



BAB IV. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
4.1Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

4.1.1 Anamnesis
Dari anamnesis ditanyakan :
1.      Tampilan kejang, umum atau fokal, dan berapa lama durasi kejangnya
2.       Riwayat demam dan penyakit lain yang diderita oleh anak
3.       Riwayat penyebab demam, misalnya penyakit virus dan gastroenteritis
4.       Riwayat penggunaan obat pada anak
5.      Riwayat kejang pada anak sebelumnya, masalah neurologik,  keterlambatan tumbuh kembang, atau penyebab lain dari kejang seperti trauma.
6.       Tanyakan faktor risiko terjadinya kejang demam, seperti :
a)    Riwayat keluarga yang pernah atau tidak menderita kejang demam
b)   Suhu tubuh yang tinggi
c)    Riwayat prenatal dan keterlambatan perkembangan
d)   Penyakit perinatal (saat usia 28 hari pertama)
4.1.2 Pemeriksaan fisik dan neurologis
Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningeal, tanda peningkatan tekanan intrakranial, dan tanda infeksi di luar SSP. Pada umumnya tidak dijumpai adanya kelainan neurologis, termasuk tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.
4.1.3 Pemeriksaan penunjang
1.    Pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan secara rutin, namun untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain. Pemeriksaan yang dapat dikerjakan: Pemeriksaan darah perifer, elektrolit dan gula darah
2.    Pungsi lumbal untul melakukan pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis, dianjurkan pada:
a.    Bayi kuang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
b.    Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c.    Bayi >18 bulan tidak rutin
3.    Elektroensefalografi (EEG), pemeriksaan ini tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karena itu tidak direkomendasikan
4.    Pencitraan : Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti CT-scan atai MRI jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
a.    Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
b.    Paresis nervus VI
c.    Papiledema

BAB V. PENATALAKSANAAN

Anak yang mengalami Kejang Demam sederhana atau Kejang Demam Kompleks harus dirawat di rumah sakit dengan segera dan dilakukkan pemeriksaan penunjang untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut.

Algoritma penanganan kejang (Pusponegoro, 2004)
Kejang
 
   













Kejang
Diazepam rektal 0,5 mg/ kgBB (5menit)
Bawa ke RS
 











Kejang
Rujuk ICU
 
 















Menurut Pusponegoro (2004), apabila kejang sudah berhenti terapi profilaksis dapat diberikan untuk mencegah berulangnya kejadian kejang demam. Terapi yang dapat diberikan berupa :
a. Antipiretik. Berupa parasetamol 10-15mg/ kgBB/ hari tiap 4-6 jam.
b. Antikejang berupa diazepam oral 0,3mg/kgBB tiap 8 jam saat demam atau diazepam rektal 0,5mg/kgBB tiap 12 jam.
c. Pengobatan jangka panjang selama 1 tahun dapat dipertimbangkan pada kejang
demam kompleks dengan faktor resiko. Obat yang digunakan adalah Fenobarbital 3- 5mg/kgBB/hari atau asam valproat 15-40mg/kgBB/hari.

Edukasi pada Orangtua
Menurut Wong V dkk (2002), kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orangtua, karena saat anak kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan edukasi yang tepat bagi orangtua seputar kejang demam, diantaranya :
1.    Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya bukan merupakan keganasan tetapi tidak juga untuk di anggap ringan (berprognosis baik).
2.    Memberikan cara penanganan kejang
3.    Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4.    Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi memiliki efek   
5.    samping
6.    Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi kejadian epilepsi
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:
Ø Riwayat kejang demam dalam keluarga.
Ø Usia kurang dari 18 bulan.
Ø Tingginya suhu saat kejang.
Ø Lamanya demam.
Ø Riwayat epilepsi dalam keluarga.
Faktor risiko kemungkinan menjadi epilepsi adalah:
Ø Gangguan neurodevelopmental.
Ø Kejang demam kompleks.
Ø Riwayat epilepsi dalam keluarga.
Ø Lamanya demam.
Ø Adanya lebih dari 1 gejala kejang demam kompleks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar