Sabtu, 07 Mei 2011

DEMAM TIFOID

Oleh : Astri Sulastri Prasasti
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia
Tahun 2011


BAB I. PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang dan Epidemiologi

1.1.1. Latar Belakang
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai penyakit demam tifoid, meliputi definisi, epidemiologi dan persebaran penyakit, patofisiologi, tanda dan gejala penyakit, serta penatalaksanaan yang tepat terhadap demam tifoid.
Pada tahun 1982 Pierre Louis (Perancis) mengeluarkan istilah thypoid yang berarti thypus. Baik kata thypoid maupun thypus berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada penderita yang mengalami demam dengan kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus. Pada tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar limfe mesentarial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan Salmonella thypi, dan memastikan bahwa penularannya melalui air bukan udara. Pada tahun 1896 Widal mendapatkan salah satu metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid. Pada tahun yang sama Wright dari Inggris dan Pfeifer dari Jerman mencoba vaksinisasi terhadap demam tifoid. Pada era 1970 dan 1800 mulai dicoba vaksin oral yang berisi kuman hidup yang dilemahkan dan vaksin suntuk yang berisi Vi kapsul polisakarida. Pada tahun 1984 Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa kloramfenikol adalah efektif untuk pengobatan penyakit demam tifoid (Soedarmo et all., 2010).
Demam tifoid adalah infeksi bakterial sistemik yang diakibatkan oleh Salmonella typhi  (Maskalyk J. 2003 ). Sembila puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan S.thypi, sisanya disebabkan oleh S.parathypi (Pudjiadi et all., 2010). Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid (Soedarmo et all., 2010). Menurut Raffatellu et all. (2003) Salmonella enteric yang merupakan penyebab gastroenteritis juga dapat menyebabkan demam tifoid. Oleh karena itu, demam tifoid juga disebut dengan enteric fever (Brusch et all., 2009). Ada tiga serotype Salmonella enteriditis yaitu bioserotype parathypi A, parathypi B (S.Schotmuelleri) dan parathypi C (S.Hirschfeldii) (Soedarmo et all., 2010).
Demam tifoid adalah penyakit serius yang banyak terjadi pada negara-negara kecil juga pada negara berkembang (Yap et all., 2007).  Demam tifoid juga merupakan penyakit endemis di Indonesia (Pudjiadi et all., 2010). Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang Momor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat penyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah (Sudoyo et all., 2009). Demam tifoid berkembang bebas karena dipengaruhi banyak faktor seperti sanitasi buruk, lingkungan padat dan faktor sosial lain. Salmonella typhi tidak memiliki vektor non manusia. Transmisi demam tifoid memiliki beberapa mode antara lain, transmisi oral lewat makanan yang infeksius, dan transmisi hand-to-mouth lewat toilet atau usap mulut (Brusch et all., 2009).

1.1.2. Epidemiologi
Masalah demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan terpenting di berbagai Negara. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebeb penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Serikat dan 900/100.000/ tahun di Asia (Soedarmo et all., 2010).
Sejak tahun 1900, perbaikan sanitasi dan  terapi antibiotik yang adekuat cukup menekan angka kejadian demam tifoid di Amerika Serikat. Pada tahun 1920 kasus yang terjadi mencapai 35.994, sedangkan pada 2004 angka kejadian turun menjadi 314. Secara umum, kejadian demam tifoid banyak terjadi pada Negara-negara berkembang dengan sanitasi buruk. Demam tifoid merupakan penyakit endemik pada Asia, Afrika, Amerika latin, Karibia dan Osenia, tetapi 80% kasus berasal dari Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, dan Vietnam (Brusch et all., 2009).
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekunesi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606. Insidensi demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan (Sudoyo et all., 2009).
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demem tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi (Sudoyo et all., 2009). Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun (Pudjiadi et all., 2010).

BAB II. PATOFISIOLOGI DAN PERJALANAN ALAMIAH DEMAM TIFOID
Patofisiologi demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme Yaitu : (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal (Soedarmo et all., 2010).
Bakteri S.thypi dan S.parathypi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau minuman terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dengan pH <2, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia (Sudoyo et all., 2009). Sel-sel M adalah sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi S.thypi dan S.paratyphi (Soedarmo et all., 2010). Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrorag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika (Sudoyo et all., 2009).
Setelah melalui periode tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu mala S.typhi  dan S.paratyphi akan keluar dari habitatnya (Soedarmo et all., 2010). Selanjutnya keluar melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik (Sudoyo et all., 2009). Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal (Soedarmo et all., 2010).
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus (Sudoyo et all., 2009). Kuman pathogen-berikatan dengan susunan molekuler (PAMPs) seperti flagella dan lipopolisakarida yang masih bertahan di dalam dapat dikenali makrofag melalui kuman tool-like receptor (TLR)-5 dan TLR-4/MD2/CD-14 complex, makrofag dan sel epitel intestinal kemudian mengaktivasi sel T dan neutrofil serta interleukin 8 (IL-8), sehingga terjadilah proses inflamasi. Kuman S.typhi memiliki fimbriae yang mendukung untuk terjadinya penempelan pada epitel. Selain itu, S.typhi juga memiliki kapsul Vi yang menutupi PAMPs yang berfungsi untuk melawan neutrofil (Brusch et all., 2009). Proses yang sama terulang kembali yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (Salmonella intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et all., 2009).
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella menstimulasi makrofag dalam hati, limpa, folikel limpoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun seluler baik di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi, bagaimana mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi S.typhi tidak diketahuo dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen S.typhi pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar hasil virulen melewati usus setiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki epitel pejamu(Soedarmo et all., 2010).
















Gambar 1. Patofisiologi Demam Tifoid
(http.www.exomedindonesia.com)


BAB III. TANDA DAN GEJALA DEMAM TIFOID

Gejala  demam tifoid sering kali muncul setelah 1-3 minggu terpapar mulai dari tingkat sedang hingga parah. Gejala klasik yang muncul mulai dari demam tinggi, malaise, sakit kepaa, konstipasi atau diare, rose-spot pada dada, dan hepatosplenomegali (WHO, 2010). Rose spot adalah suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tetapi tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari (Soedarmo et all., 2010). Jika tidak ditangani, demam tifoid bisa berkembang menjadi delirium, penurunan kecerdasan, perdarahan intestinal, perforasi usus, dan kematian (Brusch et all., 2009). Sebagian besar anak memiliki lidah tifoid, yaitu di bagian tengah lidah kotor dan di bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering terjadi daripada splenomegali (Pudjiadi, et all., 2010).
Masa tunas atau masa inkubasi demam tifoid pada dewasa berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi, dari ringan hingga berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit khas disertai komplikasi. Pada minggu pertama ditemukan gejala klasik yang sama dengan penyakit infeksi akut lain. Sering kali juga ditambah anoreksi, mual, muntah, batuk dan epistaksis. Sifat demam, meningkat perlahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala klasik menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relative (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah berselaput disertai tremor, hepatomegali, splenomegali, dan gejala penurunan kesadaran lain (Sudoyo et all., 2009). Tetapi bradikardi reltif jarang ditemui ppada anak (Soedarmo et all., 2010).
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari. Gejala klinis ringan tidak memerlukan perawatan sedangkan gejala klinis berat harus di rawat. Pada era pemakaian antibiotic seperti sekarang ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusu yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada minggu ke-4. Demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistisis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien melaporkan bhwa demam demam lebih tinggi pada sore hingga malam hari, dan turun pada pagi hari. Bahkan banyak juga dijumpai penderita demam tifoid yang dating dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan (Soedarmo et all., 2010).
Pembagian manifestasi klinis yang muncul dalam empat minggu dadalah sebagai berikut. Pada minggu pertama manifestasi telah mulai muncul seperti nyeri perut difusa. Plak Peyer dan lumen usus yang lebar menyebabkan konstipasi pada akhir durasi nyeri. Gejala lain seperti batuk kering, nyeri kepala bagian frontal, delirium, stupor dan malaise juga ditemua. Akhir dari minggu pertama, plateau demam mencapai 19-40oC. Beberapa pasien dapat dijumpai rose spot. Pada minggu kedua, gejala dan tanda yang ada semakin progresif. Abdomen menjadi terdistensi dan splenomegali halur muncul. Bradikardi relatif dan pulse dicrotic (denyut dua kali, denyut kedua lebih lemah dari denyut pertama) mungkin muncul. Pada minggu ketiga, masih demam dan semakin parah dengan anoreksia serta penurunan berat badan yang signifikan. Konjungtiva sudah terinfeksi, pasien menjadi takipnea dangan ronki pada dasar paru Distensi perut semakin parah. Beberapa pasien menjadi diare barwarna hijau kekuningan, encer seperti pea soup.  Penurunan kesadaran ditemukan, pasien menjadi apati, konfusi dan kadang psikosis. Plak Peyeri nekrosis sehingga mengakibatkan perforasi usus dan peritonitis. Individu yang bertahan hingga minggu ke empat, demam, status mendal dan distensi perut perlahan berkurang dalam beberapa hari. Komplikasi intertinal dan neurologis masih bertahan jika tidak segera ditangani (Brusch et all., 2009)


BAB IV. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
4.1Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

4.1.1. Anamnesis
Diagnosis dini mempunyai arti yang sangat penting. Dari proses anamnesis dapat ditanyakan mengenai gejala klinis yang muncu. Demam naik secara bertahan tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letarge, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi , mual, muntah dan perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus (Pudjiaji et all., 2010). Dengan cirri-ciri klinis tersebut maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid (Soedarmo et all., 2010). Nyeri perut dan diare sedang selama 2-3 hari ditemukan pada 46,2% dan 44,4% kasus, sedangkan konstipasi hanya ditemukan pada 22% kasus. Batuk tidak produktif ditemukan pada 31% kasus anak-anak (Yap et all., 2009).

4.1.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan lidah tifoid atau lidah berselaput , hepatomegali ataupun splenomegali dan dapat juga ditemui adanya ronki pada pemeriksaan paru (Pudjiaji et all., 2010). Hepatomegali dan splenomegali ditemukan pada 56% dan 38,8% kasus. Sedangkan rose-spot dan bradikardia relatif jarang ditemukan (Yap et all., 2009).

4.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti  ditegakkan melalui isolasi S.typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S.typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil cukup baik (Soedarmo et all., 2010). Isolasi bakteri dengan kultur 100% terbukti spesifik. Kultur feses bisa memberikan hasil positif setelah beberapa hari teinfeksi bakteri sekunder sehingga mengakibatkan inflamasi karena sel dendritik intraluminal. Setelah sakit, kultur feses positif karena bakteri sudah meleati kandung kemih. Kultur darah multiple (>3) memberikan sensitivitas sebesar 73-97%. Sedangkan kultur feses tunggal memberikan sensitivitas kurang dari 50% dan 63% untuk puch-biopsy dari rose-spot. S.typhi juga dapat diisolsasi dari cairan serebrospinal, cairan peritoneal, nodus limfa mesenterika, intestinal, faring, tonsil, abses dan tulang (Brusch et all., 2009). Biakan sumsum tulang masih positif hingga minggu ke 4 (Pudjiaji et all., 2010).
Tabel 1. Sensitivitas Kultur
(Brusch et all.,2009)
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan bebapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibody S.typhi dalam serum, darah, urin dan bahkan DNA S.typhi dalam darah dan feses. Polymerase chain reaction (PCR) telah digunakan untuk memperbanyak gen S.typhi secara spesifik (Soedarmo et all., 2010). Pemeriksaan PCR menggunakan dua sekuens primer yang berbeda pada gen H1-d flagellin pad S.typhi memberikan sensitivitas dan spesifisitas terbaik (Brusch et all., 2009). Namun sampai saat ini belum disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap kuman S.typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi. S.typhi yang sudah dimatikan dan diolah laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu aglutinin O (dari tubuh kuman), Aglutinin H (flagella kuman) dan aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin ini hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan terkena infeksi kuman (Sudoyo et all., 2009). Pemeriksaan uji Widal telah dilakukan pada 51 (94%) pasien. Pada 8 pasien (15%) didiagnosis positif mengandung titer H dan O, dengan titer O 1:1280. Dari 42 kasus yang psositif kultur, 41 (99%) juga memiliki hasil uji Widal test positif dengan titer O 1:640 (Yap et all., 2009).
Di Indonesia pengambilan angka titer aglutinin O >= 1/40 dengan memakai uji Widal slide agglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negative tidak menyingkirkan diagnosis. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer aglutinin sekali periksa >= 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens maka diagnosis demam tifois dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak diakaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang aglutinin Vi dipakai dalam deteksi pembawa kuman S.typhi (karier) (Soedarmo et all., 2010).
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap meninggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih ditemukan hingga 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih dari 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit (Sudoyo et all., 2009). Pemeriksaan antibodi yang lain yang bisa dilakukan seperti indirect hemagglutination, indirect flurescent Vi antibody, dan indirect enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk IgM dan IgG terhadap polisakarida S.typhi. Pemeriksaan ini sebaik pemeriksaan monoclonal antibodies terhadap flagella S.typhi (Brusch et all., 2009)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu pengobatan dini dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, pemberian kortikosteroid, waktu pengambilan darah, riwayat vaksinasi, reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi masa lalu atau vaksinasi, dan faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen. Batas titer yang digunakan sejauh ini hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan berbeda antar laboratorium (Sudoyo et all., 2009).
Pemeriksaan laboratorium yang non spesifik misalnya pada darah tepi lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula leukosit normal atau leukositosis (Sudoyo et all., 2009). Namun leukopenia yang terjadi jarang kurang dari 3000/UI (Pudjiaji et all., 2010). Sebagian besar pasien anemia sedng, dengan peningkatan erythtocyte sedimentation rate (ESR), trombositopeno dan limfopenia relative (Brusch et all., 2009). SGOT dan SGPT sering kali meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus (Sudoyo et all., 2009).
Beberapa pasien juga ditemukan mengalami kenaikan waktu protrombin (PT) dan waktu aktif parsial tromboplastin (aPTT) serta penurunan level fibrinogen. Hipontaremi dan hipokalemi sering ditemukan. Rasio serum alanin amino transferase (ALT) terhadap laktat dehidrogenase (LDH) lebih dari 9:1 berfungsi untuk membantu membedakan demam tifoid dengan hepatitis virus. Jika rasio lebih dari 9:1 maka mendukung diagnosis hepatitis akut viral, sedangkan jika rasion kurang dari 9:1 mendukung hepatitis tifoid (Brusch et all., 2009).
Selain uji Widal, terdapat metode pemeriksaan serologi yang memiliki senstitivitas dan spesifisitas lebih baik dari uji lain, yaitu Uji Tubex, Typhidot dan Dipstik. Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatid kolonetrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti S.typhi 09 pada serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan polisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Secar imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan sel T. karena sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi  sekunder. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen meliputi, tabung berbentuk V yang berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas, reagen A yang mengandung partikel magentik yang diselubungi antigen S.typhi O9, reagen B yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibody monoklonal spesifik untuk O9. Konsep pemeriksaan ini adalah jika serum tidak mengandung antibody terhadap O9, reagen B akan bereaksi dengan reagen A. Sebagai akibatnya terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibody terhadap O9, antobodi pasien akan berikatan dengan reagen A dan memberikan warna biru pada larutas. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan adanya infeksi Salomella sero grup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Nilai sensitivitas bila dibandingkan dengan uji Widal yaitu 100% (uji Widal 53,1%), spesivisitas 90% (uji Widal 65%) (Sudoyo et all., 2009).

Tabel 2. Interpretasi Uji Tubex
Skor
Interpretasi

<2
Negatif
Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif
3
Borderline
Pengukuran tidak dapat disimpulkan, ulangi pengujian. Apabila masih meragukan lakukan pengulangan beberapa hari kemudian
4-5
Positif
Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6
Positif
Indikasi kuat infeksi tifoid
(Sudoyo et all., 2009)

Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein membrane luar S.typhi. Hasil positif uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengeidentifikasi secara spesfik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi sebarat 50 kD, yang tedapat pada strip nitroselulosa. Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98% dan spesifisitasnya sebesar 76,6%. Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) terkaktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. Sehingga, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini dikenal dengan nama uji Typhidot M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pasa serum pasien. Uji ini bahkan lebih spesifik sebesar hampir 100% dan lebih cepat (3 jam) bila dibandingkan dengan kultur (Sudoyo et all., 2009).
Uji Dipstik juga digunakan untuk mendeteksi IgM spesifik terhadap S.typhi pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida S.typhi dan anti IgM (sebagai control), reagen deteksi yang mengandung natibodi anti Ig M yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien. Setelah diinkubasi reagen dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian deangan membandingkannya dengan strip control. Garis control harus terwarnai dengan baik. Sensitivitas uji ini sebesar 65-77% dan spesifisitasnya sebesar 95-100% (Sudoyo et all., 2009).

BAB V. PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : istirahat dan perawatan, diet, serta terapi penunjang (Sudoyo et all., 2009). Sebagian besar kasus demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Namun untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyuit dan dapat dilakukan dengan seksama. (Soedarmo et all., 2010).
Ø Istirahat dan Perwatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tidah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan (Sudoyo et all., 2009).
Ø Diet
Diet merupakah hal yang penting dalam proses penyembuhan penyakit, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun sehingga proses penyembuhan akan semakin lama. Dulu penderita demam tifoid diberi makan bubur untuk menghindari perforasi usus. Namun kini, beberapa penelitian menemukan bahwa pemberian makanan padat seperti nasi beserta lauk pauk rendah selulosa (menghidari sementara sayuran yang tinggi serat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid (Sudoyo et all., 2009).
Ø Terapi Penunjang
Pengobatan demam tifoid adalah dengan menggunakan antibiotik. Antibiotik yang biasa digunakan seperti kloramfenikol, florokuinolon, amoksisilin, dan trimetropim-sulfametoxazol. Sayangnya resistensi S.typhi terhadap obat-obat tersebut sering terjadi belakangan ini, terutama di daerah-daerah Asia, Amerika Latin, dan Amerika Tengah. Pada daerah tersebut, pengobatan yang digunakan dalah quinolon jangka panjang atau dengan azatitromisin dan generasi ketiga sefalosporin (Maskalyk et all., 2003).
Di Indonesia kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg/hari dapat diberikan per oral atau intravena (Sudoyo et all., 2009). Dosisi trsebut diberikan selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turu, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun, pada anak, hal tersebut jarang dilaporkan (Soedarmo et all., 2010). Pada anak-anak dosis yang diberikan sama seperti dewasa yaitu 100mg/kg/hari, namun jka konsentrasi cairan serebrospinal sudah adekuat maka dosis harus langsung diturunkan dengan cepat hingga 50 mg/kg/hari. Untuk anak-anak suspek fungsi metabolik yang imatur, dosis yang digunakan sebesar 25 mg/kg/hari dibagi tiap 6 jam. Sedangkan untuk neonatus (<28 hari) dosis yang digunakan berupa loading dose 20 mg/kg IV satu kali kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan dua belas jam kemudian. Dosis rumatan sebagai berikut : <7 hari: 25 mg/kg/hari IV dalam 24 jam, <7 hari <2000 g: 25 mg/kg/hari IV dalam 24 jam,  serta jika >7 hari, >2000 g: 50 mg/kg/hari dibagi setiap 12 jam. Efek samping jarang  ditemukan yaitu sekitar 1 % berupa mimpi buruk, sakit kepala, ruam, diare, stomatitis, mual, muntah, anemia aplastik, supresi sumsum tulang, neuropati perifer dan sindrom gray. Kloramfenikol tidak boleh digunakan pada pasien dengan hipersensitivitas, pada ibu menyusui serta tidak dapat digunakan untuk pencegahan (Brusch et all., 2009).
Antibiotik lain yang memberikan efektivitas hampir sama yaitu tiamfenikol dan Kotrimoksazol.  Tiamfenikol memiliki kemungkinan terjadinya komplikasi hematologi seperti anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg, demam rata-rata turun pada hari ke 5-6. Sedangkan kotrimoksazol efeknya sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80mg trimetropin) diberikan selama 2minggu (Sudoyo et all., 2009).

Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200mg/kg/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara itravena. Amoksisilin dengan dosis 100mg/kg/hari dibagi dalam 4 kali pemberian per oral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimetropim sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10mg/kg/hari atau SMZ 50mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis (Soedarmo et all., 2010).
Pada demam tifois kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma, dan syok pemberian deksametason intravena (3mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48jam) disamping antibiotik yang memadai, dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%. Demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfuse darah. Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakkan diagnosis. Laparotomi harus segera dilakukan disertai penambahan antibiotic metronidazol untuk memperbaiki prognosis. Rseksi 10 cm di setiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfusi trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup berat sehingga menyebabkan perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masij dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah (Soedarmo et all., 2010).
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septic, yang pernah dibuktikan ditemukan 2 macam organism dalam kultur darah. Sedangkan penggunaan kortikosteoid hanya diindikasikan pada toksik tifoid yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Sudoyo et all., 2009).

7 komentar:

  1. maaf sebelumnya, saya boleh minta daftar pustaka dari penulisan referat ini gak ?

    BalasHapus
  2. ass. maaf sebelumnya... saya boleh minta daftar pustaka dari penulisan referat ini ga...???
    mksih sebelumnya,...

    BalasHapus
  3. maaf, sebelumnya,,, boleh minta daftar pustaka?

    BalasHapus
  4. asskum.maaf boleh minta daftar pustakanya ga?
    suwun..

    BalasHapus
  5. informasi yang sangat bermanfaat, terimakasih banyak..

    BalasHapus